Minggu, 24 Oktober 2010

makalah HIKMATU TASYRI'


HIKMAH SYARI’AH DALAM MU’AMALAH

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah swt sebagai makhluk sosial, yang artinya manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia membutuhkan sesamanya untuk bertukar pikiran dan berinteraksi dalam mencukupi segala kebutuhannya, baik kebutuhan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Salah astu cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah dengan bermu’amalah. Seperti jual beli, persewaan, bercocok tanam atau hal-hal lain yang dapat menyatukan manusia dalam suatu komunitas yang tidak terpisah.
Akan tetapi pada hakikatnya, manusia memiliki keterbatasan dan memiliki sifat uang tidak baik. Hawa nafsu yang sering kali sulit dikendalikan sehingga mengajak manusia untuk melakukan keburukan. Manusia jyga memiliki sifat kikir dan tamak. Namun, Allah swt juga telah menyiapkan undang-undang tentang tata cara dalam berintersaksi dengan sesama. Manusia dapat hidup beriringan dalam memenuhi hidup mereka. Hingga keadilan betulu-betul dapat dirasakan oleh seluruh anak manusia. Dari sinilah secara tersirat bisa kita lihat adanya hikmah disyari’atkan mu’amalah. Oleh sebab itu untuk mengetahui lebih jauh tentang hikmah syari’ah dalam mu’amalah, mka dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut perihal hikma syari;at dalam mu’amalah.
2. Rumusan Masalah
a. Apakah pengertian hikmah syari’ah mu’amalah?
b. Asas (prinsip) apa saja yang terdapat dalam mu’amalah?
c. Bagaimana hikmah syari’ah dalam mu’amalah?


B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Hikmah Syari’ah Mu’amalah
Hikmah menurut Ibnu Sina dalam Risalah at Thabi’iyyah adalah “mencari kesempurnaan diri manusia dangan menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat, baik yang bersifat teori maupun praktik menurut kadar kemampuannya”.
Sedangkan definisi yang lain menjelaskan bahwa Hikmah adalah “ilmu yang shahih yang akan menimbulkan kehendak untuk berbuat yang bermanfaat, karena padanya terdapat pendangan dan paham yang dalam tentang hukum-hukum dan rahasia-rahasia persoalan. Hikmah hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang menggunakan akal fikiran dengan jernih.
Sedangkan Syari’ah dalam bahasa Arab berarti tempat air minum atau sumber air.[1] Syari’ah dalam pengertian ini (sumber air) berubah menjadi sumber kehidupan yang dapat menjamin kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat. Oleh karena itu secara bahasa syari’ah diartikan sebagai jalan, aturan, ketentuan Allah swt. Sedangkan syari’ah menurut istilah adalah aturan, undang-undang atau hukum-hukum Allah yang berisi tata cara pengaturan perilaku hidup manusia dalam melakukan hubungan dengan Allah swt, sesama manusia, dan alam sekitarnya untuk mencapai keridhaan Allah, yaitu keselamatan dunia dan akhirat.[2]
Mu’amalah secara harfiah berarti “pergaulan” atau hubungan antar manusia. Dalam pengertian umum ini mu’amalah berati perbuatan atau pergaulan manusia di luar ibadah.[3] Jadi, syari’ah mu’amalah dalam arti khusus adalah semua hukum syari’ah yang bersangkutan dengan urusan dunia, dengan memandang kepada aktifitas hidup seseorang, seperti jual-beli, tukar menukar, pinjam meminjam, dan sebagainya. Dalam pengertian yang lain syari’ah mu’amalah ialah hukum yang mengatur lalu lintas hubungan antar perorangan atau pihak menyangkut harta, terutama perikatan dan jual-beli. Segala harta yang ada di alam semesta, di muka bumi, di laut adalah milik Allah swt melalui ilmu pengetahuan dan kemahiran yang dianugerahkan kepadanya. Mereka yang meliki harta kekayaan di dunia adalah sebagai pemegang amanat Allah swt dan bertanggungjawab terhadap hart-harta tersebut. Firman Allah swt dalam QS.Al-Mulk 15 disebutkan:
“15. Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
Mu’amalah juga merupakan tata cara atau peraturan dalam perhubungan manusia sesama manusia untuk memnuhi keperluan masing-masing yang berlandaskan syari’ah Allah swt yang melibatkan bidang ekonomi dan sosial Islam.
Ä Macam-macam Mu’amalah
1. Jual beli
2. Sewa menyewa
3. Gadai
4. Mudhorobah (perseroan harta dan tenaga)
5. Pinjam-meminjam
6. Wakalah
2. Asas-asas (Prinsip) Mu’amalah
Asas-asas mu’amalah meliputi pengertian-pengertian dasar yang dapat dikatakan sebagai teorti-teori yang membentuk hukum mu’amalah. Asas-asas mu’amalah ini berkembang sebagaimana tumbuh dan berkembangnya tubuh manusia.[4]
a. Asas Mubah (الاباحة)
Pada dasarnya segala bentuk mu’amalah adalah mubah atau boleh, kecuali yang ditentukan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah. Mengandung arti bahwa hukum Islam memberi kesempatan luas perkembangan bentuk dan macam mu’amalah baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat.
"الاصل في الاشياء الاباحة حتى يدل الدليل على التحريم"
b. Asas Tabadulul Manafi’ (تبادل المنافع (
Asas ini berarti bahwa segala bentuk kegiatan mu;amalah harus memberikan keuntungan dan manfaat bagi pihak yang terlibat. Asas ini merupakan kelanjutan dan prinsip at ta’awun atau mu’awanah sehingga asas ini bertujuan menciptakan kerjasama antar individu atau pihak-pihak dalam mesyarakat dalam rangka saling memenuhi keperluannya masing-masing dalam rangka kesejahteraan bersama.
Asas tabadulul manafi’ adalah kelanjutan dari prinsip pemilikan dalam hukum islam yang menyatakan bahwa segala yang di langit dan di bumi pada hakikatnya adalah milik Allah swt. Dengan demikian, manusia sama sekali bukan pemilik yang berhak sepenuhnya atas harta yang ada di bumi ini, melainkan hanya sebgai pemilik hak memanfaatkannya. Prinsip hukum tentang pemilikan ini didasarkan atas firman Allah swt dalam surat al-Ma’idah ayat 17 “.. kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
c. Asas Pemerataan
Asas pemerataan adalah penerapan prinsip keadilan dalam bidang mu’amalah yang menghendaki agar harta itu tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang sehingga harta itu harus terdistribusikan secara merata diantara masyarakat, baik kaya maupun miskin. Oleh karena itu, dibuatlah hukum zakat, shodaqah, infaq dll, disamping dihalalkannya bentuk-bentuk pemindahan pemilikan harta dengan cara yang sah, seperti jual-beli, sewa menyewa, dsb. Asas ini pun merupakan pelaksanaan firman Allah dalam al-Hasyr ayat 7 yang menyatakan bahwa harta itu agar tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja :
atas dasar asas ini dirumuskanlah hak-hak sosial yang harus dipenuhi oleh orang kaya.


d. Asas Suka Sama Suka (عن تراض)
Asas ini merupakan klanjutan dari asas pemerataan di atas. Asas ini menyatakan bahwa setiap bentuk mu;amalah antar individu harus berdasarkan kerelaan masing-masing. Kerelaan ini dapat berarti kerelaan melakukan suatu bentuk mu’amalah, maupun kerelaan dalam arti kerelaan menerima dan atau menyerahkan harta yang dijadikan obyek perikatan dan bentuk mu’amalah lainnya. Asas ini didasarkan atas firman Allah swt dalam surat al-An’am ayat 152 dan al-Baqarah ayat 282:

e. Asas ‘adamul Ghoror (عدم الغرار)
Asas ini berarti bahwa pada setiap mua’amalah tidak boleh ada ghoror, tipu daya atau sesuatu yang menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lainnya sehinga mengakibatkan hilangnya unsur kerelaan salah satu pihak dalam melakukan suatu transaksi atau perikatan. Asas ini kelanjutan dari asas ‘an taradhin.
f. Asas al-Birru wa at-Taqwa
Asas ini menekankan bentuk mu’amalah yang termasuk dalam kategori suka-sama suka, yaitu sepanjang bentuk muamalah dan pertukaran manfaat itu dalam rangka pelaksanaan saling menolong antar sesama manusia untuk kebajikan dan ketaqwaan dalam berbagai bentuknya. Dengan kata lian, mu’amalah yang bertentangan dengan kebajikan dan ketaqwaan atau bertentangan dengan tujuan-tujuan kebajikan dan ketaqwaan tidak dapat dibenarkan menurut hukum.


g. Asas Musyarokah
Asas musyarokah menghendaki bahwa setiap bentuk mu’amalah merupakan kerjasama antar pihak yang saling menguntungkan bukan saja bagi pihak yang terlibat melainkan juga bagi keseluruhan masyarakat manusia. Oleh karena itu, ada sejumlah harta yang dalam mu’amalah diperlakukan sebagai milik bersama dan sama sekali tidak dibenarkan dimiliki oleh perorangan. Asas ini melahirkan dua bentuk pemilikan; Pertama, milik pribadi atau perorangan, yakni harta atau benda dan manfaat yang dapat dimiliki secara perorangan. Kedua, milik bersama atau milik umum yang disebut haqq Allah. Harta atau benda milik Allah ini dalam aplikasinya dikuasai oleh pemerintah seperti air, udara, dan kandungan bumi, baik mineral maupun barang tambang lainnya. Bahkan ada harta yang dinyatakan Rasulullah sebagai harta yang dimiliki bersama oleh seluruh umat manusia, yaitu air, api dan garam.

3. Hikmah Syari’ah dalam Mu’amalah
Dengan alasan begitu banyaknya ruang lingkup/macam pembahasan perihal mu’amalah, maka kami membatasi pembahasan hikmah syari’ah dalam mu’amalah antara lain:
a. Hikmah syari’ah dalam Jual-beli
Dengan adanya peraturan jual-beli maka akan menghindarkan kejadian rampas-merampas atau perampokan yang mana manusia ingin memiliki harta benda yang tidak dimilikinya. Dalam jual-beli mengajarkan manusia untuk hidup bersatu dan hidup mengikuti undang-undang yang berlaku.[5]
b. Hikmah syari’ah dalam Wakalah
Orang yang tidak bisa menjalankan kesibukannya sendiri, maka dengan adanya wakalah orang bisa mewakilkan beberapa pekerjaan penting. Selain itu, orang yang mewakilkan lebih tenang karena dapat terus mengembangkan hartanya dan menyempurnakan atau melaksanakan rencana yang telah dibuat.[6]
c. Hikmah syari’ah dalam Mudharabah
Hikmahnya adalah untuk menghilangkan hinanya kefakiran dan kesulitan bagi orang fakir serta menciptakan rasa cinta dan kasih sayang sesama manusia, yakni misalnya ada seseorang yang memiliki modal dan yang lain memiliki kemampuan untuk berdagang, sedang untungnya dibagi diantara keduanya. Sehingga menimbulkan suatu manfaat yaitu pertama, pahala yang besar dari Allah swt bagi pemilik modal karena ikut menghilangkan kehinaan rasa fakir dan kesulitan pada orang lain (mitra) tersebut. Namun, apabila mitra tersebut sudah kaya, juga masih ada keuntungnnya yaitu tukar-menukar pendapat antara keduanya. Kedua, berkembangnya modal awal dan bertambahnya kekayaan. Kesulitan orang fakir menjadi hilang dan kemudian ia mampu menghasilkan penghidupan sehingga tidak lagi meresahkan masyarakat.
Secara garis besar hikmah disyari’atkannya Mu’amalah adalah dengan adanya mu’amalah maka akan mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan manusia. Mu’amalah yang dijalankan berdasarkan syari’ah Islam akan melahirkan masyarakat yang aman dan jauh dari penipuan, perampasan, ketidak adilan, monopoli harta dan sebagainya.

C. KESIMPULAN
1. Syari’ah mu’amalah adalah semua hukum syari’ah yang bersangkutan dengan urusan dunia, dengan memandang kepada aktifitas hidup seseorang, seperti jual-beli, tukar menukar, pinjam meminjam, dan sebagainya. Dalam pengertian yang lain, ialah hukum yang mengatur lalu lintas hubungan antar perorangan atau pihak menyangkut harta, terutama perikatan dan jual-beli.
2. Asas-asas (Prinsip) Mu’amalah
a. Asas Mubah (الاباحة)
b. Asas Tabadulul Manafi’ (تبادل المنافع (
c. Asas Pemerataan
d. Asas Suka Sama Suka (عن تراض)
e. Asas ‘adamul Ghoror (عدم الغرار)
f. Asas al-Birru wa wa-Taqwa
g. Asas Musyarokah
3. Hikmah disyari’atkannya Mu’amalah adalah dengan adanya mu’amalah maka akan mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan manusia. Mu’amalah yang dijalankan berdasarkan syari’ah Islam akan melahirkan masyarakat yang aman dan jauh dari penipuan, perampasan, ketidak adilan, monopoli harta dan sebagainya.

Referensi:
Ahmad, Ali. Indahnya Syari’at Islam, (Jakarta:Gema Insani,2008)
Mas’adi,Ghufron A. Fiqh Mu’amalah Kontekstual (Jakarta:Rajawali Pers, 2002)
Praja, Juhaya S. Filsafat Hukum Islam(Jakarta:LPPM Universitas Islam Bandung,1995)
Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam, (Jakarta:at-Thahiriyyah,1979)


[1] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam(Jakarta:LPPM Universitas Islam Bandung,1995).10
[3] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Mu’amalah Kontekstual (Jakarta:Rajawali Pers, 2002),1
[4] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam(Jakarta:LPPM Universitas Islam Bandung,1995).113
[5] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta:at-Thahiriyyah,1979),208
[6] Ali Ahmad, Indahnya Syari’at Islam, (Jakarta:Gema Insani,2008),437

Tidak ada komentar:

Posting Komentar