Selasa, 26 Oktober 2010

Makalah

<script type="text/javascript" src="http://www.bux4ad.com/affiliate/scripts/banner.php?a_aid=d55c155c&a_bid=4941f9d9"></script>

KLIK DI SINI !!!
http://www.bux4ad.com/aft/d55c155c.html
PERBANDINGAN MADZHAB IMAM MALIKI

 
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Dalam masyarakat kita di Indonesia ini berkembang berbagai macam ragam aliran yang berkenaan dengan maslah Fiqh. Kendatipun mayoritas ummat islam mengaku bermadzab Syafi’I, tetapi madzab lain pun sedikit basyaknya ada pengaruhnya terhadap ummat islam di sini. Pemikiran ini di dasarkan atas kenyataan yang terjadi dalam masyarakat kita sehari-hari, bahwa ada saja terlihat perbedaan pendapat yang berkenaan dengan masalah furu’ (cabang), baik mengenai ibadah, mu’amalah dan lain-lainya. Di dalam dunia fiqh secara umum terdapat empat madzab yang terkenal, salah satu diantaranya adalah Imam Malik yang merupakan imam kedua dari imam empat serangkai dalam Islam.
Imam Maliki dilahirkan di kota Madinah daerah negeri Hijaz pada tahun 93 H (712 M). nama beliau adalah Maliki bin Abi Amir. Salah seorang kakekanya datang ke Madinah lalu berdiam di sana. Kakekanya Abu Amir seorang sahabat yang turut menyaksikan segala peperangan Nabi selain perang Badar.
Pada masa Imam Maliki dilahirkan, pemerintahan Islam ada ditangan kekuasaan kepala negara Sulaiman bin Abdul Maliki (dari Bani Umayah yang ketujuh). Kemudian setelah beliau menjadi seorang alim besar dan dikenal dimana – mana, pada masa itu pula penyelidikan beliau tentang hokum-hukum keagamaan diakui dan diikuti oleh sebagian kaum muslimin. Buah hasil ijtihad beliau itu dikenal oleh orang banyak dengan sebutan madzab Imam Maliki.
Dari deskripsi singkat diatas, maka dalam makalah ini akan mencoba untuk membahas lebih mengenai imam Malik dengan beberapa focus pembahasanya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Sejarah singkat Imam Malik?
2.      Bagaimana Metode Istimbath yang dipakai oleh Imam maliki?
3.      Contoh Istimbath Imam Maliki?

PEMBAHASAN

A.     Sejarah Singkat Imam Malik
a.  Biografi Imam Malik
Imam Malik adalah imam yang kedua dari imam-imam empat serangkai dalam Islam dari segi usia. Nama lengkap beliau adalah Malik ibn Anas ibn Abi Amar al-Asbahi al-Yamani. Ibunya bernama ‘Aisyah putrid dari Syarik al-Azdiyah dari Yaman dari keturunan orang yang merdeka.[1] Ada riwayat yang mengatakan bahwa Imam Malik berada dalam kandungan rahim ibunya selama dua tahun, ada pula yang mengatakan sampai tiga tahun. Beliau adalah keturunan bangsa Arab dusun Zu Ashbah sebuah dusun di kota Himyar jajahan negeri Yaman.[2] Beliau dilahirkan di kota Madinah, suatu daerah di negeri Hijaz tahun 93 H / 12 M, dan wafat pada hari Ahad 10 Rabi’ul Awal 179 H / 798 M di Madinah pada masa pemerintahan Abbasiyah dibawah kekuasaan Harun al-Rasyid.
Imam Malik terdidik di kota Madinah pada masa pemerintahan Khalifah Sulaiman Ibn Abdul Malik dari Bani Umayyah VII. Pada waktu itu di kota tersebut hidup beberapa golongan pendukung Islam, antara lain golongan shahabat Anshar dan Muhajirin serta para cerdik pandai ahli hukum Islam. Dalam suasana lingkungan tersebut tumbuh dan mendapat pendidikan dari guru yang terkenal. Pelajaran pertama yang diperolehnya adalah al-Qur’an, yakni bagaiman cara membaca, memahami dan menafsirkannya sampai ia menghafalkannya diluar kepala. Kemudian ia mempelajari hadis Nabi Saw dengan tekun dan rajin hingga ia dijuluki sebagai ahli hadis.[3]



Sebagai seorang yang ahli hadis beliau sangat menghargai dan menjunjung tinggi hadis Nabi Saw, sehingga ketika hendak memberi pelajaran hadis beliau berwudlu terlebih dahulu, kemudian duduk di atas alas sembahyang dengan tawadhu’  tidak mau memberikan pelajaran hadis sambil berdiri.[4]
                             
  1. Guru Dan Murid Imam Malik
Malik dalam masa belajar berkonsentrasi pada empat macam ilmu, pertama cara membantah pengikut hawa nafsu, orang yang mengembangkan kesesatan  dan sebab-sebab berbeda dalam bidang fiqh. Ilmu ini beliu pelajari dari Ibn Hurmuz. Kedua fatwa-fatwa para tabi’in, fiqh shahabat dan fiqh tabi’in adalah sumber fiqh bagi mazhab Malik. Fiqh beliau pelajari dari ulama tabi’in. Ketiga fiqh ijtihad. Fiqh ini beliau pelajari dari Rabi’ah dan cara menggunakan qiyas dan maslahat. Keempat hadis-hadis Rasulullah. Ilmu ini beliau pelajari dengan mendatangi orang-orang yang dipercaya riwayatnya dan memiliki ilmu yang mendalam.[5]
Guru dari Imam Malik yang pertama dan bergaul lama serta erat adalah Imam Abdurrahman Ibn Hurmuz salah seorang ulama besar di Madinah. Kemudian beliau belajar fiqh kepada salah seorang ulama besar kota Madinah yang bernama Rabi’ah al-Ra’yi (wafat tahun 136 H). Selanjutnya beliau belajar ilmu hadis kepada Imam Nafi’ Maula Ibn Umar (wafat tahun 117 H), beliau juga belajar kepada Imam Ibn Syihab al-Zuhry. Menurut salah satu riwayat guru dari Imam Malik yang utama tidak kurang dari 700 orang. Diantara sekian banyak gurunya tersebut yang 300 orang termasuk dalam golongan tabi’in.[6]
Disamping itu Imam Malik menerima ilmu dari ulama asar dari berbagai aliran, ia pernah belajar kepada Ja’far meskipun beliau tidak menyetujui jalan yang ditempuh Ja’far tersebut. Ia mempelajari ilmu-ilmu yang berkembang di masanya, aka tetapi yang dikembangkan dan diajarkan kepada orang lain hanya ilmu Rasulullah, ilmu Shahabat dan ilmu Tabi’in.
Sedangkan murid-murid dari Imam Malik diantaranya adalah Asad Ibn Furat an-Naisabury yang berasal dari Tunis. Ia telah mengumpulkan beberapa risalah yang memuat tidak kurang dari 1036 masalah dan fatwa Imam Malik. Murid Imam Malik yang lainnya adalah Ibn al-Qasim (Mesir). Diantara yang digolongkan kedalam barisan murid pilihan ialah Abdulah ibn al-Hakam (150 H-216 H), Abdul Malik ibn Habib (wafat 238 H) dan Muhammad ibn Hammad al-Uthby al-Qurtuby (wafat 255 H)[7]
 Sedangkan diantara shahabat-shahabat yang berjasa mengembangkan mazhabnya adalah Usman Ibn al-Hakam al-Juzami, Abdurrahman ibn Khalid ibn Yazid ibn Yahya, Abdurrahman Ibn al-Qasim, Asyhab Ibn Abdul Aziz, Ibn al-Hakim, Haris ibn Miskin dan orang-orang yang semasa dengannya.[8]
Karya-karya terkenal Karya Imam Malik yang paling terkenal adalah kitab al-Muwatha’ yang merupakan kitab hadis yang disusun berdasarkan bab fiqh, sedangkan pendapat-pendapat Imam Malik terkumpul dalam kitab yang mana disusun oleh murid-muridnya yaitu al-Mudawwamah al-Kubra, al-Wadlihah dan Mustahrajah al-Udbiyah.[9]

B.     Pola Pikir dan Metode Istimbath Imam Malik
Imam Malik adalah seorang mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana halnya Imam Abu Hanifah, karena kecerdasan dan ketekunannya Imam Malik tumbuh sebagai seorang ulama yang terkemuka, terutama dalam bidang ilmu hadis dan ilmu fiqh. Al-Dahlawy mengatakan “ Malik adalah orang yang paling ahli dalam bidang hadis di Madinah, yang paling mengetahui keputusan Umar, yang paling mengetahui pendapat-pendapat Abdullah Ibn Umar, Aisyah r.a da shahabat-shahabat yang lainnya, atas dasar itulah beliu memberi fatwa.[10]
Setelah mencapai tingkat tinggi dalam bidang ilmu, beliau mulai mengajar dan menulis kitab Muwathatha’ yang sangat popular, karena beliau merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuannya kepada orang lain yang membutuhkannya. Banyak dari Muhadditsin besar yang mempelajari hadits dari beliau dan menjadi rujukan para ahli fiqh.[11]
Imam Malik sangat teguh dalam membela kebenaran dan berani menyampaikan apa yang diyakininya. Pada suatu ketika Harun al-Rasyid mencegahnya dari mengatakan sepotong hadis tertentu akan tetapi ia tidak menghiraukan larangn tersebut, lalu membaca al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 159 yang menjelaskan bahwa sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang Allah turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk akan dilaknat oleh Allah dan semua makhluk.[12]
Mengenai ketokohannya sebagai seorang ulama hadis yang besar Imam Syafi’i mengatakan “ Apabila datang kepadamu hadis dari Imam Malik maka pegang teguhlah olehmu, karena ia menjadi hujjah olehmu “. Dalam hal menetapkan hokum atau memberi fatwa beliau sangat berhati-hati sebagaimana diriwayatkan beliau pernah berkata, “ saya tidak pernah memberi fatwa dan meriwayatkan sebuah hadis sehingga 70 orang ulama membenarkan dan mengakuinya.[13]
Adapun metode ijtihad dari Imam Malik dalam menetapkan sebuah hukum adalah selalu berpegang kepada :
1.    al-Qur’an
Dalam memegang al-Qur’an ini meliputi mengambil hukum berdasarkan atas zahir nash al-Qur’an atau keumumannya, meliputi mafhum mukhalafah dan mafhum al-Aula dengan memperhatikan illatnya.[14]


2.    Sunnah[15]
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum Imam Malik mengiukuti cara yang dilakukannya daam berpegang kepada al-Qur’an. Apabila dalil syar’iy menghendaki adanya pentakwilan maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil itu. Adapun jika ada pertentangan antara makan zhahir al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah sekalipun shahir (jelas) maka yang dipegang adalah makna zhahir al-Qur’an. Akan tetapi apabila makna yang dikandung oleh sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahl al-Madinah maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah daripada zhahir al-Qur’an (sunnah yang dimaksud disini adalah sunnah al-mutawatirah al-masyhurah).
3.    Ijma’ ahl al-Madinah[16]
Ijma’ ahl al-Madinah ada dua macam yaitu Ijma’ ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql hasil dari mencontoh Rasulullah bukan dari hasil ijtihad ahl al-Madinah seperti tentang mud, sha’  dan penentuan suatu tempat seperti tempat mimbar Nabi tempat adzan dan lain-lain.  Dalam hal ini yang dimaksud Ijma’ ahl al-Madinah adalah Ijma’ ahl al-Madinah pada masa lampau untuk menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi Saw. Sedangkan kesepakatan Ijma’ ahl al-Madinah yang hidup kemudian, sama sekali bukan merupakan hujjah. Sedangkan Ijma’ ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql sudah merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin sebagai hujjah.
4.    Fatwa Shahabat[17]
Yang dimaksud dengan shahabat disini adalah shahabat besar yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-naql. Ini berarti fatwa shahabat berwujud hadis-hadis yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik para shahabat terseut tidak akan memberi fatwa kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah, namun beliau mensyaratkan fatwa tersebut tidak boleh bertentangan dengan hadis marfu’yang dapat diamalkan dan fatwa shahabat yang demikian lebih didahulukan daripada qiyas.
5.    Khabar Ahad dan Qiyas[18]
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh oleh masyarakat Madinah, sekalipun hasil dari istinbath kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang qath’i. dalam menggunakn khabar ahad Imam Malik tidak selalu konsisten. Kadang mendahulukan qiyas daripada khabar ahad kalau khabar ahad itu tidak popular dikalangan masyarakat Madinah.
6.    al-Istihsan[19]
Menurut mazhab Malik al-istihsan adalah menurut hokum dengan mengambil maslahah yang merupaan bagian dari dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlal al-mursal daripada qiyas sebab menggunakn istihsan itu tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan pada maksud pembuat syara’ secara keseluruhan.
7.    al-Maslahah al-Mursalah[20]
Maslahah mursalah adalah mashlahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung dalam nash, dengan demikian maka mashlahah mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan syari’at itu diturunkan. Tujuan syari’at diturunkan dapat diketahui melalui al-Qur’an dan Sunnah atau ijma’.
8.      Istishab.
Imam Maiki menjadikan Istishhab sebagai landasan hukum. Istishhab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau.[21]

9.      Syar’u man Qoblana Syar’un Lana
Menurut Qadhy Abd WAhab Al Maliki, Bahwa Imam Malik menggunakan Qaidah ini sebagai dasar hokum. Tetapi menurut Sayyid Muhammad Musa, tidak kita temukan secara jelas pernyataan Imam Malik yang menyatakan demikian.[22]
10.  Sadd al-Zara’i
Imam Malik menggunakan sadd al-Zara’i sebagai landasan dalam menetapkan hukum, menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.[23]
C.     Contoh Istimbat Hukum Imam Malik
1.      Maslahah Mursalah
Sebagai contoh, menjahtuhkan hukum mati atas sesuatu kaum atau kelompok manusia yang membunuh satu orang, bias dijatuhi hukuman mati, bias dijatuhi hukuman mati pula dikarenakan untuk menghindari usaha jahat dari kelompok tertentu yang ingin melakukan pembunuhan dengan cara sengaja.[24]
Contohnya adalah maslahat ketika mengumpulkan Al Qur’an dalam rangka menjaga agama. Contoh lainnya adalah penulisan dan pembukuan hadits. Semua ini tidak ada dalil dalil khusus dari Nabi, namun hal ini terdapat suatu maslahat yang sangat besar untuk menjaga agama.[25]

2.      Ijma’ Ahl Madinah
Contoh tentang amalan penduduk madinah ini, mislanya ukuran Mud , sha’ dan penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar nabi SAW, atau tempat dilakukanya amalan-amalan rutin seperti Adzan di tempat yang tinggi dan lain-lain. Ini adalah hasil ijtihad mencontoh Rasululloh SAW, bukan ijitihad oleh ahl madinah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasululloh SAW sebelumnya.. Ijma’ semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.[26]




KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Biografi singkat Imam Malik
Imam Malik adalah imam yang kedua dari imam-imam empat serangkai dalam Islam dari segi usia. Nama lengkap beliau adalah Malik ibn Anas ibn Abi Amar al-Asbahi al-Yamani. Ibunya bernama ‘Aisyah putrid dari Syarik al-Azdiyah dari Yaman dari keturunan orang yang merdeka. Imam Malik terdidik di kota Madinah pada masa pemerintahan Khalifah Sulaiman Ibn Abdul Malik dari Bani Umayyah VII. Pada waktu itu di kota tersebut hidup beberapa golongan pendukung Islam, antara lain golongan shahabat Anshar dan Muhajirin serta para cerdik pandai ahli hukum Islam.
2.      Pola pikir
Imam Malik adalah seorang mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana halnya Imam Abu Hanifah, karena kecerdasan dan ketekunannya Imam Malik tumbuh sebagai seorang ulama yang terkemuka, terutama dalam bidang ilmu hadis dan ilmu fiqh. Al-Dahlawy mengatakan “ Malik adalah orang yang paling ahli dalam bidang hadis di Madinah, yang paling mengetahui keputusan Umar, yang paling mengetahui pendapat-pendapat Abdullah Ibn Umar, Aisyah r.a da shahabat-shahabat yang lainnya, atas dasar itulah beliu memberi fatwa.
3.      Metode istimbath yang digunakan
a.  al-Qur’an
Dalam memegang al-Qur’an ini meliputi mengambil hukum berdasarkan atas zahir nash al-Qur’an atau keumumannya, meliputi mafhum mukhalafah dan mafhum al-Aula dengan memperhatikan illatnya.
b.   Sunnah
c.     Ijma’ ahl al-Madinah
Ijma’ ahl al-Madinah ada dua macam yaitu Ijma’ ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql hasil dari mencontoh Rasulullah bukan dari hasil ijtihad ahl al-Madinah seperti tentang mud, sha’  dan penentuan suatu tempat seperti tempat mimbar Nabi tempat adzan dan lain-lain. 
 d.    Fatwa Shahabat
Yang dimaksud dengan shahabat disini adalah shahabat besar yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-naql. Ini berarti fatwa shahabat berwujud hadis-hadis yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik para shahabat terseut tidak akan memberi fatwa kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah, namun beliau mensyaratkan fatwa tersebut tidak boleh bertentangan dengan hadis marfu’yang dapat diamalkan dan fatwa shahabat yang demikian lebih didahulukan daripada qiyas.
e.     Khabar Ahad dan Qiyas
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh oleh masyarakat Madinah, sekalipun hasil dari istinbath kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang qath’i. dalam menggunakn khabar ahad Imam Malik tidak selalu konsisten. Kadang mendahulukan qiyas daripada khabar ahad kalau khabar ahad itu tidak popular dikalangan masyarakat Madinah.
f.   al-Istihsan
g.     al-Maslahah al-Mursalah
Maslahah mursalah adalah mashlahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung dalam nash, dengan demikian maka mashlahah mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan syari’at itu diturunkan. Tujuan syari’at diturunkan dapat diketahui melalui al-Qur’an dan Sunnah atau ijma’.
h.             Sadd al zara’i
i.               Syar’u man Qablana

[1] Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 1997) hal 461
[2] Huzaemah Tahido Yango, Pengantar Perbandingan Mazhab (Jakarta : Logos, 1999), hal 102
[3] Ibid, 103
[4] Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, hal 462
[5] Ibid, 462-463
[6] Huzaemah Tahido Yango, Pengantar Perbandingan Mazhab, hal 104
[7] Muhammad Hasbi ash-Shiddiqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, hal 478
[8] Ibid, 119-120. Lihat juga Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, hal 478
[9] Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, hal 478
[10] Huzaemah Tahido Yango, Pengantar Perbandingan Mazhab (Jakarta : Logos, 1999), hal 104
[11] Ibid, 105
[12] Ibid, 105
[13] Ibid, 105
[14] Huzaemah Tahido Yango, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1999), 106
[15] Ibid, 106
[16] Ibid, 106-107
[17] Ibid, 108
[18] Ibid, 108
[19] Ibid, 109
[20] Ibid, 111
[21] Ibid, 112
[22] Ibid, 112
[23] Ibdi, 112
[24] M. Ali Hasan, Perbandingan Madzab. (Jakarta: raja Grafindo Persada, 2002), 121
[25] http.//www. Ahmad Nahrawi Abdussalam.co.id.html. diakses di fast net. Tanggal 28 Oktober 2008 pada pukul 21.15 WIB.
[26] Huzaemah Tahido Yango, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1999), 107

1 komentar: